Senin, 30 Agustus 2010

Memotret dengan format RAW

Dulu, pernah mendengar dari seorang teman, bahwa kalau mau memotret dan hasilnya akan diedit lebih lanjut, sebaiknya disimpan dalam format Raw.  Trus saya Tanya, apa kelebihan dan kekurangannya? Kelebihannya: proses editing yang dilakukan bisa cukup drastis.  Kekurangannya: ukuran file jauh lebih besar sehingga akan banyak menghabiskan kapasitas memory card.
Dalam hal editing -atau lebih kerennya retouching- selama ini saya termasuk condong sebagai pengikut aliran “Take Picture” bukan “Make Picture”.  Jadi editing yang saya lakukan pada foto-foto jepretan saya sangat terbatas.  Argumentasi ini tentu saja mengesampingkan fakta bahwa skill editing foto saya yang sangat terbatas pula.  Memory card yang saya punya satu-satunya itu hanya berkapasitas 2 GB, dengan speed yang sangat pas-pasan pula.  Karena dua alasan itulah, maka selama ini saya belum pernah menyimpan file hasil jepretan dalam format Raw.
Sampai pada suatu ketika, saya akhirnya memutuskan mencoba memotret dengan format Raw.  Karena takut “kenapa-kenapa” dengan format Raw perdana saya –padahal ini foto prewed seorang teman- maka saya memilih format Raw + JPEG Basic di kamera D40 saya.  Sesi pemotretan berjalan lancar, lega rasanya.  Tapi kok perasaan masih gak enak ya.  Ternyata benar adanya, baru terpikirlah oleh saya bagaimana melakukan editing pada file Raw?
Setelah bertanya sana sini, dapatlah petunjuk untuk menggunakan software Adobe Camera Raw (ACR).  Setelah cari sana sini, dapatlah installer nya, tentu saja gratis.  Sudah lebih lega rasanya.  Pas mau diinstal, ternyata tidak bisa diinstal, mungkin versi ACR –sesuai saran teman, pilih aja yang terbaru- tidak kompatibel dengan Photoshop CS2 yang terinstal di computer saya.  Berputar-putar lah lagi mata dan jari-jari saya, mencari informasi lainnya.  Ternyata dalam Photoshop versi CS3 ke atas, sudah ada plug-in ACR.  Akhirnya dapat pinjaman installer CS4, tapi serial numbernya entah di mana.  Tak terdaftar, versi trial pun jadi.
Taarraaaa………
Akhirnya berhasil juga membuka file Raw.  Ternyata memang benar, banyak yang bisa dilakukan pada hasil jepretan dalam format Raw.
Hasil baca sana-sini juga, jadi tahu lah saya.  File raw itu disebut juga digital negative.  Apa maksudnya? Buat anda yang pernah bermain dengan kamera analog, tentunya paham dengan istilah negative foto atau film.  Gampangnya itu adalah hasil proyeksi cahaya pada lembaran roll film, yang belum bisa dinikmati mata telanjang dan belum siap ditampilkan.  Jadi file Raw bisa diidentikkan dengan negative/klise nya era digital.   Secara teknis, file Raw baru sedikit sekali mengalami pemrosesan setelah cahaya ditangkap oleh sensor kamera.  Karena pemrosesan yang sangat minim inilah file Raw belum bisa ditampilkan untuk dicetak atau untuk kepentingan publikasi lainnya.  Tapi justru karena itu pula, masih bisa dilakukan proses penyesuaian lebih lanjut.
Setiap merk kamera digital mempunyai jenis file Raw masing-masing.  Hal ini akan nampak pada ekstensi nama filenya.  Misalnya pada Nikon dengan ekstensi NEF (Nikon Electronic File) dan Canon dengan ekstensi CRW (Canon Raw File) atau CIFF.  Bahkan setiap seri atau tipe kamera dengan merk yang sama pun mempunyai tipe dan spesifikasi file Raw yang bisa berbeda.  Misalnya kamera seri terbaru seperti D5000 tipe file Raw nya akan berbeda dengan D40.  Oleh karena itu Adobe menyediakan fasilitas update plug-in ACR pada software photoshop untuk mengakomodir perkembangan jenis kamera baru.
Lalu apa saja yang sebenarnya bisa diedit pada file Raw?  Ternyata memang banyak sekali.  Mulai dari pengaturan exposure, yang dinaikkan dan diturunkan berapa stop pun.  Hal ini sangat bermanfaat untuk mengatasi foto yang under maupun over exposure.  Dengan bantuan histogram, anda dapat membuat pencahayaan yang paling tepat.  Penyesuaian dasar lainnya adalah anda bisa mengatur White Balance, mulai dari yang default sampai dengan custom untuk mendapatkan temperature yang paling pas.  Masih banyak lagi yang lainnya.  Secara singkat bisa saya katakana, dengan Raw saya seolah bisa memotret ulang setiap frame dengan settingan yang berbeda-beda sesuai keinginan, hanya dengan melakukan satu kali pemotretan.
Tentu bukan untuk mendapatkan perubahan yang sangat drastis, atau ingin pindah aliran “Make Picture”.  Tapi hanya mengoptimalkan fasilitas yang memang tersedia untuk mendapatkan hasil terbaik.  Serta yang tidak kalah penting, berusaha mengurangi risiko kegagalan pengambilan gambar karena kesalahan teknis maupun non teknis. 

Jumat, 14 Mei 2010

Pengaturan ISO

Uhuy... inilah post pertama dari kami (copas sih), tapi setidaknya semoga menjadi tambahan pengetahuan untuk kawan-kawan semua.. Oke coy?

Baiklah, kita mulai...
Jadi, Apa sih ISO itu?

Dalam fotografi, ISO (atau ASA) adalah indikasi sensitivitas film terhadap cahaya. ISO dijabarkan dalam bentuk jumlah/besaran (misal ISO 100-6400). ISO mengukur sensitivitas dari sensor gambar. Semakin rendah jumlah (ISO 100, misal) kamera akan menjadi kurang sensitif terhadap cahaya dan hasil foto akan menjadi lebih tajam. Pengaturan ISO tinggi biasanya digunakan dalam situasi lebih gelap untuk mendapatkan shutter speed yang lebih cepat (misalnya dalam sebuah acara olahraga indoor bila kawan-kawan ingin freeze gerakan si atlit dalam cahaya rendah) -dengan konsekuensi gambar menjadi lebih noise-.

Nih... contoh penggunaan ISO. Perbandingan dari ISO 100, ISO 400, dan ISO 1600.

(klik untuk memperbesar)

ISO 100 secara umum diterima sebagai 'normal' dan akan memberikan gambar yang lebih tajam (noise/grain (bintik-bintik) yang minimal). Sedangkan untuk ISO yang lebih besar, akan memberikan gambar yang lebih noise.
 
Dalam pengaturan ISO, biasanya mencangkup pada empat pertanyaan berikut:
1. Cahaya - Apakah subjek cukup terang?
2. Grain - Apakah ingin gambar yang noise atau tidak?
3. Tripod - Apakah menggunakan tripod?
4. Pergerakan Subjek - Apakah subjek bergerak atau diam?

Jika ada banyak cahaya dan ingin gambar lebih tajam maka digunakan nilai ISO yang cukup rendah. Namun jika gelap, tidak ada tripod dan/atau subjek bergerak maka dipertimbangkan untuk menaikkan ISO karena akan memungkinkan untuk mengambil gambar dengan shutter speed yang lebih cepat. Tentu saja konsekuensi dari peningkatan ISO adalah gambar yang lebih noise.

Beberapa contoh situasi yang mungkin perlu untuk pengaturan ISO yang lebih tinggi adalah:
  • Kegiatan Olahraga dalam ruangan - di mana subjek bergerak cepat namun cahaya yang terbatas.
  • Konser - kondisi cahaya yang terpusat (dan gelap tentunya) apalagi di indoor.
  • Galeri Seni, yang melarang penggunaan flash dan tentu saja keadaan di dalam ruangan yang tidak cukup terang. 
  • Pesta Ulang Tahun - meniup lilin di ruangan gelap dapat memberikan mood yang bagus (dan akan menghilangkan mood tersebut apabila menggunakan flash). Peningkatan ISO dapat membantu mengambil mood tersebut.
ISO merupakan salah satu aspek penting dari fotografi dan diperlukan pemahaman lebih jika ingin mendapatkan lebih banyak kontrol dari sebuah kamera digital. Cobalah dengan pengaturan yang berbeda dan lihat bagaimana ISO mempengaruhi foto kawan-kawan hari ini.

SALAM JEPRET!!